Garuda Muda, Dari Semifinal Bersejarah ke Kualifikasi yang Membekas Luka, Bukti Inkonsistensi PSSI
Oleh:: Rivalwan, S.Si., M.Pd., AIFO-P
Harapan besar yang disematkan kepada Timnas Indonesia U-23 di ajang Kualifikasi Piala Asia U-23 kali ini justru berubah menjadi kegagalan. publik sepakbola tanah air masih segar mengingat catatan manis pada tahun 2024, ketika skuad Garuda Muda berhasil melaju hingga babak semifinal Piala Asia U-23, torehan bersejarah yang menyulut euforia nasional.
Namun, satu tahun berselang, cerita berbalik arah. Kualifikasi Piala Asia U-23 kali ini menghadirkan wajah yang berbeda. Permainan yang belum konsisten, tekanan lawan yang semakin berat, serta mental yang terguncang menjelma badai yang menghantam laju Garuda Muda. Hasil yang diraih tak lagi seindah kenangan 2024.
Kulalifikasi Piala Asia U-23 2025 Indonesia tergabung di Gorup J bersama Laos, Makau dan Korea Selatan. Pada laga perdana melawan Laos berakhir imbang tanpa gol, 0-0. Sebuah hasil yang mengecewakan, mengingat dominasi permainan tak mampu diubah menjadi kemenangan. Partai kedua menjadi pelipur lara sesaat. Garuda Muda tampil menggila, menghantam Makau dengan skor telak 5-0. Namun, laga penentuan kontra Korea Selatan menghadirkan kenyataan pahit. Meski bermain penuh semangat, satu celah kecil membuat gawang Indonesia kebobolan. Skor akhir 1-0 untuk Korea Selatan sekaligus menutup asa lolos ke Piala Asia U-23 2026 di Arab Saudi.
Namun kini, aroma kegagalan terasa menyengat. Kualifikasi Piala Asia U-23 terbaru justru meninggalkan catatan kelam: permainan kacau, arah tak jelas, dan di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah PSSI benar-benar belajar dari masa lalu? Keputusan PSSI mengganti Shin Tae-yong dengan Gerald Vanenburg menjadi titik sorotan. Shin Tae-yong adalah pelatih yang membangun mental baja, menempanya perlahan seperti pandai besi yang mengeraskan logam dengan sabar. Sebaliknya, Gerald Vanenburg hadir dengan filosofi permainan indah ala Eropa, namun tanpa memastikan bahwa pondasi sepakbola Indonesia cukup kuat menampung ide tersebut. Hasilnya? Tim kehilangan arah, permainan kacau, dan identitas timnas seolah lenyap di lapangan.
Namun, kesalahan terbesar bukanlah pada Gerald Vanenburg. Ia hanyalah pion dalam papan catur besar. Masalah sesungguhnya ada di tubuh PSSI, federasi yang kembali terjebak dalam pola lama, terburu-buru, inkonsistensi, dan gagal menjaga kesinambungan. Sejarah berulang karena keputusan selalu diambil dengan tergesa, bukan berdasarkan rencana jangka panjang. Bagaimana mungkin sebuah bangsa berharap pada sepakbola yang kokoh jika pondasinya diganti setiap kali angin berhembus?
Sepakbola bukan sekadar soal menang hari ini, tetapi membangun arah untuk generasi esok. Semifinal 2024 seharusnya menjadi batu pijakan emas, bukan sekadar kenangan yang cepat pudar. Kini, Garuda Muda berdiri di persimpangan. Di satu sisi ada warisan STY yang mengajarkan kerja keras, disiplin, dan mental pantang menyerah. Di sisi lain ada eksperimen yang masih meraba-raba arah. Dan di cermin yang retak, publik melihat bayangan PSSI, federasi yang tampak berwibawa, tetapi rapuh oleh keputusannya sendiri.
Di sinilah perbandingan dengan negara maju seperti Jepang menjadi pelajaran berharga. Jepang melalui Japan Football Association (JFA) membangun kurikulum sepakbola yang terstruktur sejak usia dini, mulai dari sekolah dasar, akademi regional, hingga pelatihan elit nasional. Tidak hanya menekankan teknik, tetapi juga mental, etika, dan disiplin. Hasilnya? Jepang mampu melahirkan pemain yang siap bersaing di level dunia, bukan hanya sekadar menang di level lokal.
Indonesia, dengan talenta melimpah di usia muda, seharusnya bisa meniru model ini. Namun, tanpa kurikulum yang jelas dan konsistensi kebijakan PSSI, potensi itu sia-sia. Kita menyaksikan bukan sekadar kekalahan di lapangan, tapi juga kegagalan sistem. Publik tidak hanya ingin kemenangan, mereka ingin fondasi sepakbola yang jelas, pelatih yang konsisten, dan strategi jangka panjang yang nyata.
Jika PSSI benar-benar ingin Garuda muda terbang tinggi, langkah nyata harus segera diambil. Tidak cukup dengan mengganti pelatih atau mencari sensasi instan. Federasi harus membangun sistem yang berakar, menjaga identitas timnas, dan menegaskan arah jangka panjang. Tanpa itu, impian besar sepakbola Indonesia hanyalah fatamorgana, indah dipandang, namun rapuh dan mudah runtuh.
Sepakbola bukan soal pergantian pelatih instan, melainkan perjalanan panjang membangun identitas. Publik Indonesia tidak lagi haus janji, melainkan bukti. Jika PSSI ingin keluar dari lingkaran kegagalan, mereka harus berani menaruh kepercayaan pada kesinambungan, memberi ruang pada proses, dan menjadikan visi jangka panjang sebagai kompas.
(Penulis: Dosen Pendidikan Kepelatihan Olahraga FKIP Universitas Tadulako)